Sunday, February 23, 2014

Angkatan Udara Khilafah Ustmani

Oleh: Dr. Fahmi Amhar

HANYA  enam tahun setelah kesuksesan penerbangan pertama bermesin dari Wright bersaudara di Ohio, Khilafah Utsmani menjadi salah satu negara pertama di dunia yang memulai program penerbangan militer. Mengesankan karena tampak umat Islam dengan cepat mengadopsi teknologi ini untuk mendapatkan teknologi untuk melindungi Negara Islam dan ekspansinya, sebagaimana ditunjukkan oleh Nabi sendiri.

Dalam karyanya, At-Tabari melaporkan bahwa Nabi telah mengirimkan dua sahabatnya, ‘Urwah Ibnu Mas’ud dan Ghitan bin Salmah, ke kota Jarash di Suriah untuk mempelajari teknik pembuatan Dababas (senjata mirip tank) dan Manjaniq (ketapel raksasa). Ini adalah senjata yang digunakan Romawi waktu itu. Sirah Nabi juga memberi contoh seperti parit ala Persia dalam perang Khandaq.

Ketika teknologi dari pesawat bermesin dan senjata anti serangan udara dikembangkan, Negara Islam tidak membuang waktu dalam memperoleh teknologi tersebut untuk digunakan sendiri. Sejarah penerbangan tidak berbeda dari sejarah ilmu lain dan teknologi dalam pengembangan penerbangan terletak pada sejarah panjang dan kaya di mana kemajuan kecil berlangsung selama ribuan tahun dan pengembangan tidak hanya terjadi dalam beberapa tahun sebelum penerbangan pertama bermesin.

Telah dilaporkan oleh sejarawan abad ke-11 Hijriah Ahmed Mohammed al- Maqqari bahwa pada abad ke-3 Hijriah, Abbas ibn Firnas adalah orang pertama yang melakukan penerbangan dengan menggunakan alat bersayap desain sendiri. Era modern penerbangan diantar dengan munculnya Revolusi Industri di Eropa. Wright bersaudara memecahkan masalah penggerak dan kontrol dan melakukan penerbangan bersejarah mereka pada tahun 1903. Segera setelah itu, Inggris, Prancis, Amerika Serikat, Jerman, Rusia dan Italia mulai program penerbangan militer mereka.

Negara Islam juga memulai program penerbangan (Osmanli Hava Kuvvetleri). Atase militer Negara Islam di ibukota Eropa mempelajari pengembangan pesawat militer di Eropa dan segera pada tahun 1909 pejabat militer Khilafah Utsmani mengundang penerbang Prancis ke Istanbul untuk melakukan demonstrasi. Pilot Belgia Baron de Catters datang ke Istanbul dan melakukan sebuah penerbangan pameran dengan pesawat Voisinnya atas undangan dari Menteri Perang Mahmut Sevket Pasa.

Sebagai tindak lanjut demonstrasi ini, kesadaran dan minat dalam penerbangan militer sangat meningkat di Negara Islam. Beberapa perwira dikirim sebagai delegasi ke Konferensi Penerbangan Internasional di Paris. Pada tahun 1910, kandidat Muslim dikirim ke Eropa untuk dilatih sebagai pilot, tetapi masalah keuangan dalam negara menyebabkan rencana ini harus ditunda. Namun beberapa pilot masih dilatih di sekolah-sekolah penerbangan di Paris dan mendapatkan sertifikat penerbangan mereka.

Para pejabat militer di Khilafah Utsmani sangat menyadari perlombaan senjata di antara negara-negara Eropa untuk memperkuat angkatan udara dan pentingnya pasukan udara ini dalam peperangan di masa depan. Agar tidak lengah atau tertinggal, Menteri Perang Mahmut Sevket Pasa menunjuk Letnan Kolonel Sureyya Bey pada 1911 untuk mendapatkan balon, memimpin pembangunan fasilitas penerbangan dan mengatur pelatihan pilot.

Di bawah Unit Penelitian Ilmiah Departemen Perang, Komisi Penerbangan didirikan. Selain tugas yang diberikan kepadanya, komisi ini juga terlibat dalam intelijen dan pengumpulan informasi strategis. Studi yang dilakukan tidak hanya pada pesawat tetapi juga pada persenjataan anti-pesawat. Hal ini terbukti paling berguna dalam perang yang akan datang dengan Italia. Pada 1911, Italia menyerbu bagian dari Negara Islam di Libya. Angkatan udara yang masih muda dari Khilafah Usmani belum siap untuk menggunakan pesawat militer. Upaya membeli pesawat dari Prancis dan mengirimkannya melalui Aljazair ke medan perang tidak dapat diwujudkan.

Dengan angkatan udara berkekuatan 28 pesawat dan empat balon, Italia menjadi negara pertama dalam sejarah yang menggunakan angkatan udara dalam perang. Dengan perkembangan dalam persenjataan anti-pesawat, Negara Islam kemudian menjadi negara pertama dalam sejarah yang menggunakan persenjataan anti-pesawat dalam perang. Tentara Muslim berhasil menjatuhkan balon dan pesawat militer lain dari Italia dan bahkan menangkap beberapa pesawat.

Pada tahun 1912, para pilot militer pertama dari Negara Islam, Kapten Fesa Bey dan Letnan Yusuf Kenan Bey menyelesaikan pelatihan mereka di Prancis dan kembali. Mereka diberi dua dari 15 pesawat yang dibeli melalui dana publik. Pada 27 April 1912, Fesa Bey dan Yusuf Kenan Bey terbang di atas Istanbul menjadi pilot Muslim pertama yang menerbangkan pesawat Muslim pertama atas tanah Muslim. Tak lama setelah itu pada bulan Juli 1912, sebuah Sekolah Penerbang dibuka di Yesilkoy, pinggiran Istanbul, sehingga Negara Islam bisa melatih pilot sendiri. Hal ini menandai langkah penting bagi Negara Islam dari ketergantungan pada negara asing.

Dengan cepat jumlah pilot meningkat menjadi 18 dan jumlah pesawat menjadi 17. Ini segera diuji ketika daerah semi-otonom di Balkan memberontak terhadap Khilafah Utsmani dan menyatakan perang terhadap Negara Islam. Angkatan udara tidak memainkan peran penting dalam tahap awal konflik ini, tetapi dalam tahap kedua perang, sembilan pesawat tempur dan empat pesawat latih melakukan fungsi penting.

Untuk menunjukkan kekuatan angkatan udara dan menciptakan antusiasme dalam warga negara, para pejabat militer Khilafah Utsmani menyelenggarakan beberapa penerbangan jarak jauh. Ini juga meningkatkan kemampuan angkatan udara dalam melakukan penerbangan panjang dan membawa perlindungan terhadap luasnya seluruh negara bagian.

Penerbangan jarak jauh pertama diterbangkan dari Edirne ke Istanbul selama lebih dari 3 jam. Pada 30 November 1913, Belkis Sevket Hanım menjadi wanita Muslim pertama yang terbang. Menanggapi tepuk tangan yang diberikan kepada pilot Prancis yang terbang dari Paris ke Kairo, pada 1914 negara menyelenggarakan untuk menempuh jarak hampir 1500 km dari Istanbul ke Alexandria. Karena dalam tahap awal dari teknologi, dua ekspedisi berakhir jatuh, tapi yang ketiga berhasil.

Ketika Khilafah Usmani ditarik ke Perang Dunia I, mereka baru memiliki tujuh pesawat dan 10 pilot. Dengan tekad dan ketekunan para menteri dan bantuan dari sekutu baru di Jerman, angkatan udara tumbuh menjadi 46 pilot, 59 pengamat, tiga balon observasi, 92 pesawat (termasuk 14 pesawat amfibi) dan cadangan dari 13 pilot dan 22 pengamat trainee dan 21 pesawat latih. Ketika perang berlangsung, umat Islam bahkan berusaha untuk meningkatkan angka-angka ini dengan menangkap pesawat Inggris.

Selama perang, total 450 pesawat yang digunakan, diterbangkan oleh 100 pilot Turki dan 150 pilot Jerman. Angkatan udara hanyalah salah satu bukti bagaimana Negara Islam tetap menyadari relevansi teknologi, bahkan hingga di hari-hari akhirnya.

Negara sekuler Turki adalah pewaris langsung dari angkatan udara Negara Islam, menjadikan Angkatan Udara Turki salah satu yang tertua di dunia. Tetapi apa yang rezim Turki lakukan ketika umat Islam dibunuh di tanah tetangga Suriah, Irak, Lebanon dan Palestina? Apa yang rezim negara-negara Muslim lainnya lakukan ketika umat Islam diserang dan dibunuh di tanah mereka sendiri?

Dengan tidak adanya Negara Islam, dunia Muslim tertinggal jauh dalam teknologi nuklir, kapal selam, satelit pengintai dan teknologi lainnya dalam membela umat Islam. Hanya negara dengan pemimpin Muslim yang tulus, Khalifah, setia kepada Islam dan umat Islam dapat memanfaatkan sumber daya kaum Muslimin untuk melindungi mereka dan untuk memajukan mereka. Dan itu hanya bisa datang dari pembentukan kembali Negara Islam.[Hizbut Tahrir Indonesia]


Baca juga ;



No comments:

Post a Comment